Sabtu, 04 April 2015

BU KEK SIANSU #12


Kho Ping Hoo - BKS#12 - Kisah Para Pendekar Pulau Es

Kisah Para Pendekar Pulau Es

Seri : Bu Kek Siansu #12

Karya : Asmaraman S Kho Ping Hoo

Kaisar Kian Liong atau Chien Lung merupakan kaisar Kerajaan Ceng-tiauw (Mancu) yang paling terkenal dan paling besar sepanjang sejarah Bangsa Mancu, semenjak bangsa yang tadinya dianggap bangsa liar di utara itu menguasai Tiongkok mulai tahun 1644. Kaisar Kian Liong adalah seorang kaisar yang telah terkenal semenjak dia masih menjadi pangeran, dihormati dan dikagumi oleh rakyat dari semua lapisan, bahkan dicinta oleh para pendekar karena pangeran itu memang berjiwa gagah perkasa, mencinta rakyat jelata, adil dan bijaksana. Oleh karena itu, setelah dia diangkat menjadi kaisar dalam tahun 1735, pada waktu itu dia baru berusia sembilan belas tahun, boleh dibilang seluruh rakyat mendukungnya. Biarpun dia juga seorang Bangsa Mancu, namun cara hidupnya, sikapnya dan jalan pikirannya adalah seorang Han tulen.

Baru saja dia memerintah selama lima tahun, sudah nampak kemajuan-kemajuan pesat dalam pemerintahannya. Pemberontakan-pemberontakan rakyat padam dan kehidupan rakyat mulai makmur. Taraf kehidupan rakyat kecil terangkat dan mulailah rakyat mengenal pembesar dan pejabat sebagai bapak-bapak pelindung, bukan sebagai pemeras dan penindas seperti di waktu-waktu yang lampau.

Tidak mungkin seorang manusia dapat bertindak tanpa ada yang menentangnya. Kalau seorang kaisar bertindak bijaksana terhadap rakyat, melindungi rakyat, secara otomatis dia harus menentang penindasan, harus menentang pembesar-pembesar yang korup dan yang menindas rakyat. Sebaliknya, kalau seorang kaisar berpihak kepada penindasan dan korupsi, tentu saja berarti diapun menjadi penindas rakyat. Dalam hal pertama, dengan sendirinya kaisar akan ditentang oleh mereka yang merasa dirugikan oleh keadilan kaisar yang tentu saja dapat ditegakkan dengan kekerasan, dia akan ditentang oleh para koruptor yang merasa terhalang dan terhenti sumber kemuliaannya. Dan sebaliknya, menindas rakyat tentu akan dihadapi dengan pemberontakan di sana-sini.

Akan tetapi, ternyata Kaisar Kian Liong yang muda itu memilih untuk menjadi pelindung rakyat dan menghadapi para koruptor dan penindas dengan kekerasan dan keadilan. Inilah yang membuat rakyat mendukungnya dan para pendekar di empat penjuru juga mendukungnya. Kenyataan inilah yang membuat pemerintahannya menjadi kuat. Sejarah menyatakan bahwa dengan dukungan rakyat jelata, pemerintah menjadi kuat, sebaliknya kalau ditentang rakyat, hanya mengandalkan bala tentara saja, pemerintah akan menjadi rapuh.

Kaisar Kian Liong pada waktu itu, kurang lebih tahun 1740 setelah lima tahun dia menjadi kaisar, seolah-olah merupakan bintang yang mengeluarkan sinar terang. Sinarnya menerangi hati rakyat sampai jauh ke pelosok-pelosok, bahkan sinar itu terasa sekali di tempat yang terpencil sekalipun, seperti di Pulau Es.

Pulau Es adalah sebuah pulau terpencil jauh di utara, sebuah pulau di antara ribuan pulau kecil yang berserakan di sekitar Lautan Kuning, Lautan Timur dan Lautan Jepang. Pulau Es ini merupakan pulau rahasia dan jarang ada manusia yang tahu di mana letaknya yang tepat, jarang pula ada yang pernah menyaksikannya, apalagi mendarat di sana. Akan tetapi namanya sudah terkenal sekali, terutama di kalangan para pendekar di dunia kang-ouw. Bahkan Pulau Es menjadi semacam dongeng bagi mereka, menjadi semacam nama yang mereka kagumi, hormati, akan tetapi juga takuti. Siapakah orangnya yang tidak segan dan gentar mendengar nama Pulau Es, yang menjadi tempat Istana Pulau Es dengan penghuninya Pendekar Super Sakti atau juga Pendekar Siluman, penghuni Pulau Es? Pendekar ini yang namanya Suma Han, memiliki kesaktian seperti dewa dalam dongeng, pernah menggegerkan dunia kang-ouw dan karena dia merupakan seorang pendekar sejati yang bijaksana dan budiman, maka dia dipu­ja-puja oleh para pendekar sebagai seorang datuk yang dikagumi.

Para pembaca dari cerita-cerita terdahulu yang menjadi serial dari kisah mengenai Pulau Es tentu telah mengenal siapa itu Pendekar Super Sakti Su­ma Han yang hidup dengan tenteram dan tenang di Pulau Es bersama kedua orang isterinya yang tercinta. Isterinya yang pertama adalah Puteri Nirahai, seorang puteri berdarah keluarga Kaisar Mancu yang amat gagah perkasa dan agung, yang karena cinta kasihnya yang mendalam terhadap suaminya, telah rela meninggalkan kehidupan di istana sebagai puteri dan juga sebagai panglima yang banyak jasanya, rela hidup di tempat sunyi itu bersama suami dan madunya.

Madunya itu, isteri ke dua dari Pendekar Super Sakti, juga bukan orang sembarangan. Wanita ini namanya Lulu, sebenarnya juga seorang puteri Bangsa Mancu walaupun bukau keluarga kaisar seperti Puteri Nirahai. Juga Lulu ini memiliki ke­pandaian yang hebat karena ia pernah menjadi ma­jikan Pulau Neraka! Dalam hal ilmu silat, agaknya ia tidak kalah jauh dibandingkan dengan madunya itu, apalagi setelah keduanya menjadi isteri Pen­dekar Super Sakti dan menerima bimbingan sang suami yang memiliki kepandaian seperti dewa itu.

Bagaimanakah Suma Han dapat hidup bersama dua orang isterinya dalam keadaan rukun dan tenteram? Mengapa kedua orang isterinya itu tidak saling cemburu atau iri? Dapatkah Pendekar Super Sakti Suma Han membagi-bagi cinta kasihnya kepada dua orang isterinya itu?

Sesungguhnya, tidak mungkin cinta kasih diba­gi-bagi! Cinta kasih itu memancar dari batin dan terasa oleh siapapun juga. Demikian pula cinta ka­sih Suma Han terhadap dua orang isterinya, sebulat hatinya dan tidak berat sebelah. Kedua orang wanita itu merasa benar akan hal ini dan oleh karena itu merekapun tidak pernah merasa iri atau cemburu. Bahkan kedua orang wanita ini saling mencinta seperti kakak beradik sendiri saja. Tidak ada kei­nginan untuk mengejar pemuasan kesenangan diri­nya sendiri saja bagi cinta kasih. Yang ada hanyalah kemesraan, belas kasih, dan kalaupun ada suatu keinginan, kalau boleh dinamakan keinginan, maka keinginan itu mungkin hanya satu, yakni ingin me­lihat orang yang dikasihinya itn berbahagia! Ha­nya orang yang memiliki sinar cinta kasih di dalam batinnya sajalah yang akan mengenal cinta kasih, yang akan mengenal kebahagiaan dalam hidupnya. Bahagia adalah tidak adanya sedikitpun konflik batin atau konflik lahir. Bahagia adalah keadaan hebas dari ikatan apapun juga, jadi batinnya he­ning dan tidak mempunyai apa-apa walaupun bo­leh jadi secara lahiriah dia memiliki segalanya. Dan karena batin tidak memiliki apa-apa, tidak terikat apa-apa inilah maka dia telah memiliki segala-galanya!

Siapakah sebenarnya pendekar yang disebut Pendekar Super Sakti, atau Pendekar Siluman, atau juga Tocu (Majikan) Pulau Es itu? Orang macam apakah dia itu? Suma Han adalah seorang yang kini telah tua sekali. Usianya telah mendekati sera­tus tahun, atau tepatnya sembilan puluh lima tahun! Seorang kakek yang bertubuh tinggi sedang, perutnya tidak gendut, kaki tangannya masih nampak kokoh kuat walaupun kakinya hanya sebelah saja. Kaki kirinya buntung sebatas paha dan untuk melangkah dia dibantu oleh tongkat. Rambutnya pan­jang terurai, tidak pernah digelung, dibiarkan ter­urai di pundak. Akan tetapi rambut itu terpelihara sekali, bersih dan halus seperti benang-benang perak yang mengkilap kalau tertimpa cahaya mata­hari. Selain rambutnya, juga alisnya, kumis dan jeuggotnya semua telah putih. Tidak ada sehelai­pun yang hitam. Namun wajahnya masih nam­pak segar kemerahan, matanya masih awas dan tajam pandangannya, walaupun bersinar lembut sekali. Pendengarannya masih amat baik, juga gigi­nya tidak ompong. Pendeknya panca indranya ma­sih tidak banyak menurun, masih kuat. Kesehatannya
memang amat mengagumkan. Tidak pernah dia sakit. Tentu saja, usia tua telah membuat tu­buhnya agak layu dan tenaga otot dan tulangnya tidaklah sekuat dahulu lagi. Pakaiannya sederhana, akan tetapi selalu bersih dan rapi berkat rawatan kedua orang isterinya yang amat mencintanya. Dan dalam usia hampir satu abad itu, harus diakui bah­wa masih membayang bekas ketampanan wajah pendekar ini.

Pendekar tua ini dihormati dan disegani oleh semua tokoh kang-ouw karena dia memang lihai bukan main. Banyak sekali ilmu-ilmu silat tinggi yang dikuasainya, di antaranya yang hebat-hebat adarah Ilmu Hwi-yang Sin-ciang (Tangan Sakti Inti Api), Swat-im Sin-ciang (Tangan Sakti Inti Salju), Siang-mo Kiam-sut (Ilmu Pedang Sepasang Iblis) yang dimainkan dengan tongkatnya, dan ter­utama sekali Ilmu Soan-hong Lui-kun (Silat Sakti Badai Petir) yang membuat tubuhnya dapat berge­rak sedemikian cepatnya seperti pandai menghilang saja. Dan di samping ilmu silat tinggi yang banyak ragamnya, juga pendekar ini mempunyai kekuatan sihir yang luar biasa, yang membuat dia dijuluki Pendekar Siluman!

Isterinya yang pertama, Puteri Nirahai juga su­dah tua sekali, selisihnya hanya beberapa tahun dengan suaminya. Nirahai ini berdarah Mancu ase­li, dan sudah beberapa kali namanya menjadi ter­kenal ketika ia menjadi panglima dan menggerak­kan pasukan pemerintah menumpas pemberontak­an-pemberontakan dengan hasil baik. Ia bukan saja pandai ilmu silat, akan tetapi juga mahir da­lam ilmu perang. Ia mewarisi ilmu-ilmu dari dua orang pendekar wanita yang berjuluk Mutiara Hitam dan Tok-siauw-kwi yang menjadi ibu kan­dung Pendekar Suling Emas, maka Nirahai ini amat lihai dengan Ilmu-ilmu Sin-coa-kun (Ilmu Silat Ular Sakti), Pat-mo Kiam-hoat (Ilmu Pedang Delapan Setan), Pat-sian Kiam-hoat (Ilmu Pedang Delapan Dewa) yang digabungnya dengan Pat-mo Kiam-hoat, juga senjata rahasianya Siang-tok-ciam (Jarum Beracun Harum) amat berbahaya. Di waktu mudanya, Nirahai cantik sekali, dengan pa­kaian bergaya Mancu dan topi bulu selalu meng­hias rambut kepalanya yang dahulunya panjang dan hitam berombak akan tetapi sekarang telah men­jadi putih itu. Dan di dalam usianya yang sembi­lan puluh tahun lebih, ia masih belum kehilangan kerampingan tubuhnya dan kecantikan wajahnya masih membayang pada garis-garis mukanya. Wa­taknya halus akan tetapi tegas, agung dan agak tinggi hati karena ia memiliki darah bangsawan tinggi di tubuhnya.

Isteri ke dua yang bernama Lulu, sesungguhnya tidak dapat dikatakan isteri pertama atau ke dua di antara kedua wanita ini karena mereka tidak merasa berbeda dalam tingkat menjadi isteri-isteri Pendekar Super Sakti, juga merupakan seorang nenek yang luar biasa lihainya. Karena ia pernah menjadi ketua Pulau Neraka, maka sampai tuapun Lulu lebih suka mengenakan pakaian serba hitam yang sederhana namun bersih dan rapi. Ia juga berdarah Mancu yang lihai sekali karena ia telah mewarisi ilmu-ilmu simpanan dari Pendekar Suling Emas, terutama sekali Ilmu Hong-in Bun-hoat (Silat Sastera Hujan Angin) dan Toat-beng Bian-kun (Silat Lemas Pencabut Nyawa), dua il­mu yang berasal dari manusia dewa Bu Kek Siansu. Watak Lulu ini keras dan ganas, namun ia berjiwa pendekar dan dalam membela keadilan ia seperti seekor naga betina yang pantang undur. Di waktu mudanya, ia pernah meliar sampai menjadi ketua Pulau Neraka, akan tetapi akhirnya ia dapat “diji­nakkan” oleh Pendekar Super Sakti dan menjadi isterinya. Usianya hanya setahun lebih muda dari Nirahai, sehingga ia kini sudah berusia sembilan pu­luh tahun dan menjadi seorang nenek yang gerak-geriknya masih gesit.

Demikianlah keadaan suami isteri yang sudah tua renta itu. Karena mereka sudah tua, mereka tidak mau lagi memusingkan diri dengan urusan dunia dan sudah bertahun-tahun mereka bertiga tidak meninggalkan Pulau Es, hidup tenteram dan tenang di tempat terasing itu, dan setiap hari lebih banyak duduk bersamadhi di kamar masing-masing. Urusan rumah tangga ditangani oleh keluarga yang lebih muda, yaitu tiga orang cucu mereka yang tinggal di Pulau Es untuk belajar ilmu dari kakek dan nenek-nenek mereka.

Bagi para pembaca yang telah mengenal kelu­arga Pu1au Es, tentu tahu bahwa Puteri Nirahai dan Suma Han mempunyai seorang putera yang bernama Suma Kian Bu yang juga pernah menggemparkan dunia kang-ouw dengan sepak terjang­nya sehingga dia mendapatkan julukan Pendekar Siluman Kecil! Pendekar ini, selain mewarisi ilmu-ilmu dari Pulau Es, juga mempunyai sebuah ilmu yang membuat dia terkenal sekali, yaitu Ilmu Sin-ho Coan-in, dan juga Ilmu Jouw-sang-hui-teng (Terbang Di Atas Rumput). Suma Kian Bu ini me­nikah dengan seorang pendekar wanita pula ber­nama Teng Siang In yang pandai ilmu silat dan ilmu sihir. Suami isteri pendekar ini sekarang ting­gal di lembah Sungai Huang-ho, di luar kota Cin-an, di dusun dekat hutan yang sunyi dan indah, hidup tenteram sebagai petani yang juga berdagang rempah-rempah dan hasil bumi ke kota Cin-an. Mereka hanya mempunyai seorang putera yang kini telah berusia sepuluh tahun, bernama Suma Ceng Liong.

Lulu juga mempunyai seorang putera dengan Suma Han, yaitu Suma Kian Lee yang usianya setahun lebih tua daripada Suma Kian Bu. Suma Kian Lee menikah dengan seorang pendekar wanita yang berwatak keras dan ganas, puteri angkat Hek-tiauw Lo-mo iblis yang amat jahat, yang bernama Kim Hwee Li, cantik jelita dan berpakaian serba hitam, namun berjiwa pendekar. Suami isteri ini hidup saling mencinta dan keliaran Kim Hwee Li dapat dijinakkan oleh suaminya yang tercinta, yaitu Suma Kian Lee yang berwatak halus lembut dan bijaksana. Suami isteri ini sekarang telah berusia hampir lima puluh tahun dan tinggal di Thian-cin sebelah selatan kota raja di mana mereka membuka toko obat. Suami isteri ini telah mempunyai dua orang anak, seorang anak perempuan berusia delapan belas tahun bernama Suma Hui dan seorang anak laki-laki bernama Suma Ciang Bun yang sudah berusia lima belas tahun.

Tiga orang cucu inilah, yaitu Suma Hui yang berusia delapan belas tahun, Suma Ciang Bun yang berusia lima belas tahun, dan Suma Ceng Liong yang berusia sepuluh tahun, yang kini menemani kakek dan kedua orang nenek mereka di Pulau Es. Orang tua mereka menempatkan anak-anak itu di Pulau Es, bukan hanya untuk menerima pendidik­an dari kakek nenek mereka, mewarisi semua ilmu Pulau Es sebagai ahli waris-ahli waris, juga di samping itu untuk menemani dan menghihur hati tiga orang tua renta yang hidup kesepian itu.

Selain tiga orang tua renta dan tiga orang cucu mereka itu, di Pulan Es masih terdapat lima orang pelayan, dua orang wanita dan tiga orang pria. Mereka ini tidak termasuk murid, hanya pelayan-­pelayan biasa biarpun mereka juga tidak urung ter­percik sedikit ilmu dari keluarga berilmu itu dan biarpun mereka itu tadinya hanya kaum nelayan kasar belaka namun kini mereka telah memiliki ke­kuatan yang akan mengejutkan orang biasa. Demi­kianlah sekelumit tentang para penghuni Pulau Es pada waktu cerita ini terjadi.

Pulau itu sendiri merupakan pulau yang penuh dengan batu karang yang diselimuti es sehingga selalu nampak putih dan hawanya dingin sekali. Di situ tidak dapat ditanami tumbuh-tumbuhan, oleh karena itu kebutuhan pangan dari tumbuh-tumbuhan para penghuni harus didatangkan dari pulau-pulau lain di sekitar daerah lautan itu, dan hal ini dikerjakan oleh para pelayan. Sebulan sekalipun cukuplah untuk berbelanja sayur-sayuran, kebutuhan makanan lain seperti daging dapat mereka peroleh dari ikan-ikan di laut. Pulau itu cukup besar, ada lima hektar luasnya dan dari merupakan dataran yang di bagian tengahnya berbukit. Di tengah pulau itu nampaklah sebuah ba­ngunan kuno yang kokoh kuat, kelihatan sederhana saking tuanya.

Bangunan besar itu memang dahulunya merupakan sebuah istana. Dan karena kini para penghuninya kekurangan tenaga untuk merawat, maka tembok di luar istana itu sudah lama tidak dikapur, bahkan kapurnya ada yang terlepas nampak bata yang tua dan besar tebal. Di depan istana terdapat pintu yang besar dan kokoh. Kalau pintu ini dibuka, nampaklah ruangan depan istana kuno itu yang luas. Sampai kini, bagian dalam istana yang dijadikan tempat tinggal masih terpelihara baik-baik dan masih nampak indah walaupun perabot-pera­bot rumahnya amat kuno. Tentu saja tidak sekuno bangunan itu sendiri. Ruangan depan itu masih terpelihara, nampak bersih dan perabot-perabotnya yang kuno itu menimbulkan pandangan yang nyeni dan indah. Dindingnya terawat dan dikapur putih. Lukisan-lukisan kuno yang tentu merupakan benda langka dan mahal di kota, menghias dinding, bersaing dengan tulisan-tulisan pasangan yang meru­pakan huruf-huruf indah dalam kalimat-kalimat bersajak, perpaduan yang amat indah dari coretan huruf dan keindahan sajak. Lantai ruangan itu ter­buat dari batu mengkilap bersih. Perabot-perabot seperti meja kursi dan lemari-lemari kayu terbuat daripada kayu besi yang kuat, terukir nyeni berbentuk kepala naga. Piring-piring hiasan, guci-guci berukir naga dan burung hong dan bunga-bunga menghias ruangan itu. Ada tiga buah pintu di ruangan depan yang luas itu. Pintu tengah yang terbesar menuju ke ruangan tengah dan dua pintu agak kecil di kanan kiri menembus ke halaman samping dan ke sebuah lorong yang menuju ke bangunan kecil. Di sudut ruangan, juga merupakan penghias yang selain mendatangkan keindahan juga keangkeran, terdapat sebuah rak senjata yang penuh dengan delapan belas macam senjata. Akan tetapi senjata-senjata itu bukan sekedar hiasan belaka, karena melihat betapa senjata-senjata itu mengeluarkan sinar gemilang saking tajam dan run­cingnya, mudah diketahui bahwa senjata-senjata itu adalah benda-benda pilihan yang ampuh!

Keadaan di sebelah dalam istana ini, setelah pintu depan ditutup, tidaklah sedingin di luar. Dan istana yang dari luar hanya mendatangkan rasa se­rem karena pautasnya dihuni oleh setan-setan dan iblis-iblis, ternyata di sebelah dalamnya amat bersih dan terawat, juga enak ditinggali, walaupun harus diakui bahwa hawanya amat dingin. Perabot-perabot rumah yang serba kuno memenuhi seluruh ruangan, dan istana itu mempunyai banyak kamar tidur, juga ruangan makan, ruangan duduk dan perpustakaan. Ruangan paling belakang merupa­kan semacam lian-bu-thia (ruangan berlatih silat) yang enak untuk berlatih silat.

Demikianlah penggambaran singkat tentang Pu­lau Es, istananya dan penghuni-penghuninya, dan suasana di pulau itu selalu tenteram dan wajah pa­ra penghuninya selalu nampak cerah. Di pulau ini­lah, Pulau Es yang terkenal sebagai dongeng, sebagai tempat yang ditakuti dan juga disegani, cerita ini dimulai!

“Bun-koko, ajarkan padaku Swat-im Sin-ciang! Kenapa engkau begini pelit untuk mengajarnya kepadaku, Bun-koko?” terdengar rengekan seorang anak laki-laki berusia sepuluh tahun. Suaranya nyaring dan biarpun dia merengek dan memohon, namun jelas dia bukan seorang anak manja atau cengeng. Anak ini bertubuh tinggi besar bagi seorang anak berusia sepuluh tahun, wajahnya agak lonjong dengan dagu runcing namun garisnya kuat membayangkan keteguhan hati, sepasang matanya amat tajam seperti mata harimau, alisnya tebal dan mulutnya selalu membayangkan senyum nakal. Anak ini adalah Suma Ceng Liong, putera dan anak tunggal dari pendekar Suma Kian Bu atau Pende­kar Siluman Kecil dan isterinya, Teng Siang In. Para pembaca cerita Suling Emas dan Naga Silu­man tentu masih ingat betapa suami isteri ini baru memperoleh keturunan setelah mereka berdua ber­hasil membunuh seekor ular hijau yang besar dan mengambil sebuah benda sebesar telur ayam kecil yang disebut cu (mustika). Oleh karena itu, setelah Teng Siang In mengandung dan kemudian melahir­kan anak, anak itu diberi nama Ceng Liong (Naga Hijau) untuk menyatakan perasaan bersyukur ke­pada ular hijau itu yang mereka anggap membantu mereka dapat memperoleh keturunan setelah lebih sepuluh tahun menikah dan belum juga dikaruniai putera.

Pagi hari itu, hawa masih luar biasa dinginnya bagi orang biasa, akan tetapi tidak begitu terasa mengganggu bagi para penghuni Pulau Es yang sudah terbiasa. Ceng Liong sudah berada di luar istana bersama kedua orang kakaknya, yaitu putera dan puteri Suma Kian Lee yang merupakan kakak-kakak misannya.

“Ah, Liong-te, bukan aku pelit, akan tetapi sesungguhnya aku sendiri belum mahir Ilmu Swat-im Sin-ciang. Kakek sedang memperdalam Ilmu Hwi-yang Sin-ciang kepadaku dan baru membe­ri dasar-dasarnya saja dari Ilmu Swat-im Sin-ciang. Kalau mau mempelajari ilmu itu, mintalah kepada cici,” jawab Suma Ciang Bun. Pemuda putera Suma Kian Lee ini berwatak halus dan pen­diam seperti ayahnya, biarpun usianya baru lima belas tahun akan tetapi sikapnya serius dan tindak-tanduknya selalu berhati-hati. Wajahnya bulat dengan kulit muka agak kecoklatan tidak seputih kulit muka Ceng Liong dan matanya lebar, membayangkan kesungguhan dan kejujuran. Pemuda ini persis seperti ayahnya di waktu muda, baik wajah maupun sikapnya.

Mendengar jawaban kakaknya itu, Ceng Liong lalu menoleh kepada Suma Hui. “Hui-cici, bolehkah aku belajar Swat-im Sin-ciang darimu?” Sikap dan kata-kata Ceng Liong terhadap gadis itu berbeda daripada sikapnya terhadap Ciang Bun. Terhadap Ciang Bun, Ceng Liong yang lin­cah itu kadang-kadang berani bergurau, akan te­tapi menghadapi dara itu dia tidak berani main-main. Suma Hui ini memang bisa bersikap jenaka dan baik sekali, akan tetapi kadang-kadang, kalau sedang “kumat” menurut istilah Ceng Liong, dara itu bisa menjadi galak dan tidak segan-segan untuk menyerang dan menghukum kenakalan Ceng Liong dengan kata-kata maupun dengan cubitan dan jeweran! Karena inilah maka Ceng Liong agak takut untuk menggoda dan selalu bersikap hormat seperti layaknya seorang adik terhadap saudara yang lebih tua, kalau bicara dengan Suma Hui.

Dara itu mengerutkan alisnya ketika mendengar permintaan Ceng Liong. Alis yang hitam kecil dan panjang melengkung seperti dilukis saja, di atas wajah yang berkulit putih kemerahan, wajah yang berdagu runcing, bermata tajam dan bening, de­ngan bulu mata panjang lentik, hidung mancung dan mulut kecil yang bibirnya selalu merah mem­basah, wajah yang manis! Memang Suma Hui seorang dara yang manis, seperti ibunya di waktu muda, akan tetapi juga wataknya yang keras, lin­cah, kadang-kadang ganas dan liar walaupun pada dasarnya watak itu gagah dan selalu menentang segala yang tidak benar dan jahat. Dara berusia delapan belas tahun ini sungguh amat menarik ha­ti, bagaikan setangkai bnnga yang sedang mulai mekar mengharum, memiliki daya tarik yang amat kuat sehingga setiap gerakan anggauta tubuhnya yang manapun, kerling mata, senyum bibir, gerak­an cuping hidung, gerakan kepala atau tangan, semua itu mempunyai daya tarik yang indah tersendiri.

“Ceng Liong, apakah engkau sudah melupakan semua nasihat kakek dan kedua orang nenek kita yang bijaksana? Ilmu silat tidak mungkin dipela­jari secara serampangan atau sembarangan saja. Belajar ilmu silat seperti membangun rumah, harus dimulai dari dasarnya dulu. Tanpa dasar dan ke­rangka yang kokoh kuat, jangan harap akan dapat menguasai ilmu silat dengan sempurna. Mempelajari gerakan-gerakannya saja memang mudah, akan tetapi semua itu hanya akan menjadi gerak­an-gerakan kosong untuk menggertak orang bela­ka, tanpa isi yang bermutu. Engkau tergesa-gesa hendak mempelajari Swat-im Sin-ciang, apakah kaukira mempelajari ilmu itu sama mudahnya de­ngan membuat istana pasir di pantai saja? Engkau harus bersabar dan mengikuti semua pelajaran dengan seksama, jangan ingin melangkah terlalu jauh kalau kakimu belum kuat. Mengerti?”

“Mengerti, ibu guru!” tiba-tiba Ciang Bun yaug menjawab. Adik ini biarpun pendiam dan serius, namun dia amat sayang kepada Ceng Liong dan kiranya hanya dia yaug berani membantah atau mengejek Suma Hui karena dia tahu bahwa enci­nya itu terlalu amat sayang kepadanya sehingga tidak akan pernah memarahinya. Melihat Ceng Liong tidak diajari ilmu itu malah diberi nasihat dan teguran, hati Ciang Bun membela dan diapun mengejek encinya yang bersikap seperti seorang guru memberi kuliah.

“Hushh!” Suma Hui mendengus kepada adik kandungnya. “Aku tidak bicara denganmu!”

“Engkau tidak mau mengajarnya, bilang saja tidak mau, kenapa masih harus menegurnya?” Ciang Bun membela Ceng Liong.

“Huh, engkau yang tolol!” Suma Hui memban­ting kaki kirinya. Sungguh kebiasaan ini persis kebiasaan ibunya di waktu muda, hanya bedanya kalau Hwee Li, ibunya, suka membanting-banting kaki kanan, dara ini membanting-banting kaki kiri kalau hatinya sedang kesal. “Bun-te, engkau ini hanya akan merusak watak Ceng Liong saja de­ngan cara-caramu yang memanjakannya. Engkau sendiri tentu tahu betapa bahayanya mengajar­kan Swat-im Sin-ciang pada orang yang belum kuat benar sin-kangnya. Engkau sendiri baru memperdalam Hwi-yang Sin-ciang, bagaimana mungkin anak sebesar Ceng Liong ini dilatih Swat-im Sin-ciang? Apa kau ingin melihat Liong-te celaka dengan mempelajari ilmu itu sebelum waktunya?”

Ciang Bun maklum bahwa melawan encinya ini, tak mungkin dia akan menang berdebat, maka dia lalu diam saja, tidak dapat membantah lagi. Melihat ini, Ceng Liong lalu berkata, “Aih, sudah­lah, enci Hui, Bun-ko hanya main-main saja dan akupun tadi hanya minta dengan iseng-iseng saja.”

Suma Hui memang mudah kesal dan marah, akan tetapi iapun mudah sekali melupakan kemarahannya. Ia menarik napas panjang dan wajahnya yang cantik manis itu nampak ramah lagi. “Adikku yang baik, ketahuilah bahwa biarpun Ilmu Swat-im Sin-ciang tidak dapat dikata lebih tinggi tingkatnya dari pada Hwi-yang Sin-ciang, akan tetapi mempelajari kedua ilmu itu di Pulau Es, tentu saja Hwi-yang Sin-ciang jauh lebih mudah. Kita tinggal di tempat ini secara otomatis telah berlatih. Di dalam tubuh kita sudah ada kelengkapan-kelengkapan untuk menyesuaikan diri dengan hawa di luar tubuh. Daya kekuatan mela­wan dingin di tempat ini bekerja sepenuhnya dan ditambah dengan latihan-latihan, maka otomatis kita mudah sekali mengerahkan tenaga panas un­tuk menahan serangan hawa dingin di pulau ini. Maka, dengan latihan melawan hawa dingin, kita mudah saja dapat menguasai Hwi-yang Sin-ciang yang mengandalkan tenaga panas di tubuh. Sebaliknya, karena kita sudah biasa mengerahkan hawa panas melawan serangan dingin, agak sukarlah bagi kita untuk menguasai Swat-im Sin-ciang. Ilmu ini lebih mudah dipelajari di tempat-tempat pa­nas karena otomatis daya tahan dalam tubuh kita bergerak melawan udara panas. Mari kita berlatih, Bun-te. Engkau berlatih Hwi-yang Sin-ciang dan aku berlatih Swat-im Sin-ciang. Biarlah adik Ceng Liong menyaksikan dan memperhatikan baik-baik agar kelak setelah tiba waktunya dia belajar, dia sudah tahu cukup banyak.”

Mereka bertiga lalu berjalan menuju ke ujung pulau di sebelah barat. Setelah kini lenyap keke­salan hatinya, Suma Hui menggandeng tangan ke­dua orang adiknya itu dan mereka berjalan dengan gembira menuju ke ujung pulau itu di mana terda­pat sebuah teluk kecil. Teluk ini banyak mengan­dung gumpalan-gumpalau es yang mengambang di atas air laut.

“Ceng Liong, coba kaulatih Sin-coa-kun yang telah kaupelajari dari nenek Nirahai!” kata Suma Hui. “Aku mendengar dari nenek bahwa engkau berbakat sekali dalam ilmu silat tangan kosong. Coba mainkanlah agar kami melihatnya.”

Ceng Liong meloncat ke depan lalu berkata ke­pada mereka. “Hui-cici dan Bun-koko, kalau ada yang belum benar harap kalian suka memberi petunjuk kepadaku!” Kemudian, anak laki-laki berusia sepuluh tahun ini lalu bersilat. Gerakan­nya memang mantap, cepat dan juga mengandung tenaga yang kuat, lincah dan lemas. Tubuhnya dan kedua lengannya berliuk-liuk seperti tubuh ular dan kedua tangan itu membentuk kepala ular, mematuk ke sana-sini. Biarpun usianya baru se­puluh tahun, namun gerakan tangannya ketika menyerang itu sudah mengandung hawa pukulan yang mengeluarkan suara bersuitan. Ini tandanya bahwa anak ini telah memiliki tenaga sin-kang yang cukup kuat! Inilah hasil gemblengan yang diperolehnya selama dua tahun di Pulau Es. Ilmu Sin-coa-kun (Silat Ular Sakti) itu memang hebat, membuat tubuhnya lincah dan terutama sekali menjadi lemas dan sukar dapat dipukul lawan. Suma Hui dan Suma Ciang Bun memandang ka­gum. Memang benar ucapan nenek Nirahai, anak ini sungguh berbakat sekali. Ilmu silat ini tidak mudah namun Ceng Liong dapat menguasainya dengan baik dan gerakan-gerakannya demikian lemas sehingga hampir tidak ada kelemahannya.

Setelah selesai bersilat, wajah Ceng Liong nampak merah, ada uap putih mengepul dari kepala­nya. Akan tetapi, napasnya biasa saja, tidak ter­engah-engah, padahal untuk memainkan Sin-coa-kun sampai habis membutuhkan pengerahan tena­ga luar dalam yang cukup berat.

“Gerakanmu bagus sekali, Liong-te. Sekarang engkau Bun-te, perlihatkan sampai di mana kema­juan latihanmu dalam Ilmu Hwi-yang Sin-ciang.” Suma Hui menyuruh adiknya.

“Aku hanya baru dapat mencairkan gumpalan es saja, cici,” kata Ciang Bun dengan sikap malu-malu.

“Itupun sudah merupakan kemajuan yang he­bat, adikku,” kakaknya menghibur.

Ciang Bun lalu mulai bersilat, mainkan ilmu si­lat yang amat hebat dan aneh, gerak-geriknya se­perti orang menari-nari saja, dengan tangan mem­buat gerakan seperti orang menulis huruf-huruf di udara. Itulah Ilmu Silat Hong-in Bun-hoat yang amat luar biasa, karena ilmu ini adalah ilmu yang diturunkan oleh manusia dewa Bu Kek Siansu dan yang pernah diwarisi oleh Lulu, nenek dari pemuda ini. Jarang ada orang yang berkesempatan menyaksikan ilmu silat yang langka ini. Setelah mainkan ilmu silat ini beberapa jurus, akhirnya Ciang Bun menghentikan gerakan-gerakannya dan berdiri di tepi teluk dengan kedua tangan terangkap seperti menyembah di depan dada. Inilah yang disebut kedudukan Hoan-khi-pai-hud (Memindahkan Hawa Menyembah Buddha) dan pemuda berusia lima belas tahun ini sedang mengerahkan tenaga Hwi-yang Sin-ciang. Nampak uap mengepul dari seluruh tubuhnya dan Ceng Liong yang sejak tadi memandang kagum merasa betapa ada hawa panas keluar dari tubuh kakaknya itu, makin lama sema­kin panas. Akhirnya, tiba-tiba Ciang Bun menge­luarkan suara melengking tinggi dan mcngejutkan, tubuhnya bergerak dan kedua tangannya mendo­rong-dorong ke arah gumpalan-gumpalan es yang mengambang di air laut di dekat tepi. Hawa panas menyambar-nyambar ke arah gumpalan-gumpalan es itu dan gumpalan es sebesar kepala kerbau itu seketika mencair seperti didekati api panas!

“Hebat sekali, engkau sungguh lihai, Bun-koko!” Ceng Liong memuji sambil bertepuk tangan dengan hati gembira sekali. Setelah mencairkan empat gumpal es, Ciang Bun menghentikan gerakannya dan sambil terse­nyum malu-malu dia mengusap peluh yang mem­basahi dahi dan lehernya. “Ah, aku masih harus banyak berlatih, Liong-te,” katanya merendah. Demikianlah watak Ciang Bun, pemalu dan rendah hati, sungguh amat berbeda dengan cicinya yang lincah jenaka dan kadang-kadang dapat saja ber­sikap angkuh. “Sekarang, harap engkau suka mem­beri petunjuk dan memperlihatkan kehebatan Swat-im Sin-ciang, Hui-cici.” Ciang Bun menyambung untuk menutupi rasa jengahnya oleh pujian Ceng Liong tadi.

Suma Hui menarik napas panjang. “Berlatih Swat-im Sin-ciang di Pulau Es sungguh tidak mudah, membutuhkan pengerahan tenaga yang li­pat dibandingkan dengan kalau berlatih Hwi-yang Sin-ciang. Baiklah, aku akan berlatih dan kalian lihatlah baik-baik, siapa tahu kelak kalian dapat melampaui aku dalam ilmu ini.”

Dara cantik jelita ini lalu mempererat ikat pinggangnya dan iapun mulai memperlihatkan ke­mahiran dan kelincahannya. Ia mainkan ilmu silat yang kelihatannya amat lembut dan halus indah, namun sesungguhnya ilmu silat ini adalah ilmu yang ganas bukan main, karena ini adalah Ilmu Toat-beng Bian-kun (Silat Lemas Pencabut Nya­wa) yang dipelajarinya dari neneknya, yaitu nenek Lulu. Ilmu inipun sesungguhnya berasal dari Bu Kek Siansu, akan tetapi asalnya tidaklah begitu ganas. Hanya setelah terjatuh ke tangan nenek sakti Maya, maka menjadi ganas dan setelah terjatuh ke tangan nenek Lulu semakin ganas! Seperti juga perbuatan adiknya tadi, sambil bersilat itu Suma Hui mendekati pantai teluk dan tiba-tiba iapun mengeluarkan lengkingan-lengkingan ting­gi nyaring dan kedua tangannya memukul-mukul ke air di tepi teluk. Air laut itu muncrat-mucrat ke darat dan ketika tiba di atas batu, terdengar suara berketikan karena air laut itu ternyata telah membeku dan menjadi butiran-butiran es! Sung­guh merupakan ilmu pukulan yang dahsyat dan mengerikan, dan menjadi kebalikan dari ilmu pu­kulan Hwi-yang Sin-ciang yang dapat mencair­kan es tadi. Swat-im Sin-ciang ini mengandung hawa sedemikian dinginnya sehingga dapat mem­buat air menjadi beku! Lawan yang kurang kuat sin-kangnya, kalau terkena pukulan ini mana mampu menahannya? Darahnya mungkin bisa menjadi beku!

“Hebat....! Hebat....!” Ceng Liong ber­tepuk tangan memuji dan diapun meleletkan lidah­nya saking kagum melihat betapa air yang mun­crat-muncrat itu berobah menjadi es.

Tiga orang ini lalu berbincang-bincang di tepi teluk, membicarakan tentang ilmu-ilmu silat yang mereka pelajari dan beberapa kali mereka saling memperlihatkan ilmu yang sedang mereka latih di mana Suma Hui memberi petunjuk-petunjuk kepada dua orang adiknya. Mereka bertiga adalah ahli waris-ahli waris langsung dari keluarga Pulau Es dan tentu saja merekalah yang berhak untuk mewarisi semua ilmu dari Pendekar Super Sakti dan keluarganya.

Sementara itu, di dalam Istana Pulau Es itu sendiri, di dalam ruangan samadhi, Pendekar Super Sakti Suma Han sedang duduk bersila di atas lantai bertilam babut tebal, berhadapan dengan kedua orang isterinya, yaitu nenek Nirahai dan nenek Lulu. Mengharukan juga melihat pendekar sakti yang kini sudah menjadi seorang kakek tua renta itu duduk berhadapan dengan kedua isterinya yang sudah menjadi nenek-nenek tua renta pula, dalam keadaan yang demikian penuh kedamaian dan ke­tenteraman, juga penuh dengan getaran kasih sayang di antara mereka. Bagi orang lain mungkin mereka bertiga itu hanya merupakan kakek dan nenek yang tua renta dan buruk digerogoti usia. Namun bagi mereka masing-masing, mereka masih saling merasa kagum dan tiada bedanya dengan dahuhu di waktu mereka masih muda belia. Tentu saja merekapun sadar bahwa mereka telah amat tua, seperti yang dapat diikuti dari percakapan me­reka di dalam ruangan samadhi yang sunyi itu. Ti­dak ada seorangpun pelayan berani mendekati ru­angan samadhi ini tanpa dipanggil. Mereka bertiga sejak tadi bercakap-cakap setelah pada pagi hari itu mereka menghentikan samadhi mereka.

“Kematian telah berada di depan mata....” Terdengar suara halus Suma Han, suara yang kelu­ar seperti tanpa disengaja, dan tidak ada tanda-tanda perasaan tertentu di balik pernyataan ini. Kedua orang nenek itu, yang tadinya duduk bersila dengan muka tunduk, kini mengangkat muka memandang wajah suami mereka. Pandang mata mereka itu masih penuh kagum, penuh rasa kasih, dan pengertian. Akan tetapi ucapan tadi memancing datangnya kerut di kening mereka.

“Suamiku, apa artinya ucapanmu tadi?” tanya nenek Nirahai.

“Mengapa tiba-tiba menyinggung tentang ke­matian di pagi hari secerah ini?” Nenek Lulu juga menyambung dengan nada suara penuh teguran dan pertanyaan.

Kakek Suma Han mengangkat mukanya dan wajahnya yang masih kemerahan itu kini penuh senyum ketika dia bertemu dengan pandang mata kedua orang isterinya. “Apakah kalian terkejut dan merasa takut mendengar kata kematian itu?” ta­nyanya, suaranya halus penuh kasih sayang.

“Hemmm, siapa yang takut mati?” Nirahai mencela.“Akupun tidak pernah takut kepada kematian!” nenek Lulu juga menyambung.

Kakek itu mengangguk-angguk dan mengelus jenggotnya, masih menatap wajah kedua orang isterinya itu berganti-ganti. “Kalian memang benar. Kematian hanya merupakan kelanjutan daripada kehidupan. Hidup takkan mungkin pernah terpisah dari pada mati. Ada hidup tentu ada mati seperti ada awal tentu ada akhir, walaupun kematian bukan merupakan akhir segala-galanya. Orang se­sungguhnya tidak takut akan kematian itu sendiri, melainkan ngeri karena harus berpisah dari sega­la-galanya yang disayangnya, harus terlepas dari segala macam bentuk pengikatan manis dalam hi­dupnya. Kematian adalah suatu hal yang wajar. Jadi, kalian sama sekali tidak pernah merasa ngeri menghadapi kematian?”

“Nanti dulu, suamiku,” kata nenek Nirahai. “Kita sekarang ini masih segar-bugar, masih sehat walaupun usia kita telah mendekati satu abad, akan tetapi mengapa kita bicara tentang kematian? Kalau kematian itu merupakan suatu kewajaran, dan kalau kita tidak takut menghadapinya, perlu apa kita membicarakannya seperti orang yang ke­takutan menghadapinya?”

Kini kakek Suma Han tertawa. Suara ketawa­nya masih seperti suara ketawa orang muda dan giginyapun masih baik sehingga ketika dia tertawa, wajahnya nampak jauh lebih muda walaupun rambut, kumis dan jenggotnya telah putih semua.

“Engkau masih dapat tertawa seperti itu akan tetapi bicara tentang kematian. Sungguh tidak lucu!” Nenek Lulu berkata.

Ucapan isterinya yang biasanya galak ini mem­buat Suma Han semakin gembira tertawa. “Kita membicarakan kematian bukan karena takut, mela­inkan membicarakannya sebagai suatu hal yang tak terhindarkan dan suatu hal yang amat akrab di dalam hatiku. Sesungguhnya, bukankah kita ber­tiga ini sudah lama mati? Mati dalam hidup, yaitu mati daripada segala ikatan yang memberatkan batin. Kita bertiga sudah berusia begini lanjut. Kiranya jarang ada yang dapat mencapai usia se­lanjut kita dan hal ini terjadi karena cara hidup kita yang bersih dan selalu menjaga diri tidak me­nyalahi hukum-hukum kehidupan dan mempunyai tertib diri. Terutama sekali, karena kita bertiga hidup berbahagia. Kalau tadi aku bertanya, aku hanya ingin mendengar kepastian bahwa kalian berdua tidak takut akan kematian yang sudah ber­ada di depan mata karena usia kita yang sudah sangat tua. Kita tidak mungkin hidup tanpa akhir, jasmani kita akan melapuk dan melemah dimakan usia....”

“Sudahlah, suamiku. Perlu apa kita bicara ten­tang kematian? Bukan berarti bahwa aku takut menghadapi kematian. Tidak, sejak dahulu aku tidak takut. Sudah berapa puluh kali kita semua menghadapi ancaman maut, namun tidak sekali­pun kita merasa takut, bukan? Nah, kalau ada yang kutakuti, hanya satu, yaitu....”

“Heh-heh, engkau....? Engkau.... takut....? Aih, adik Lulu, siapa bisa percaya kalau engkau mengatakan bahwa engkau takut? Aku yakin akan keberanian dan ketabahanmu, sehingga, andaikata Giam-lo-ong sendiri muncul di depanmu, tentu akan kausambut dia dengan senyum mengejek.” Nirahai mencela dengan kelakar karena memang nenek ini sudah tahu benar akan kebera­nian madunya yang tidak pernah mengenal takut itu.

“Benar, enci, aku memang takut akan suatu hal. Aku takut kalau-kalau aku akan mati sebagai se­ekor harimau betina yang telah ompong dan kehi­langan cakar kakinya.”

Suma Han menatap wajah isterinya ini lalu bertanya, “Apa maksudmu?”

“Semenjak kecil aku mempelajari ilmu silat. Memang tidak sia-sia karena ilmu itu telah banyak menolongku di waktu dahulu, dan kini dapat pula kuturunkan kepada anak cucu. Akan tetapi, memi­kirkan semua itu lalu membayangkan bahwa aku kelak akan mati dalam keadaan lemah dan sakit-sakitan, sungguh.... ngeri juga hatiku. Aku ingin mati sebagai seekor harimau betina yang gagah perkasa, biarpun sudah tua, seekor harimau betina yang mati dalam amukannya dikeroyok sege­rombolan serigala misalnya! Tidak mati sakit dan lemah menyedihkan....”

Nenek Nirahai mengangguk-angguk. “Tepat! Akupun seringkali merasa ngeri membayangkan mati dalam keadaan seperti ini. Berilah aku pasu­kan, aku akan maju perang membasmi gerombolan jahat, pengacau-pengacau dan pemberontak. Bi­arkan aku gugur dalam pertempuran, mati dengan pedang di tangan, bukan mati sebagai seorang nenek yang lumpuh dan lemah sakit-sakitan. Hih, mengerikan!”

Mendengar ucapan kedua orang isterinya itu, Pendekar Super Sakti menarik napas panjang.

“Aihh, kiranya setua ini kalian masih saja menyimpan kekerasan di dalam sanubari kalian. Be­lum cukupkah kekeruhan yang kita lakukan selama kita hidup, mengandalkan ilmu-ilmu kekerasan yang ada pada kita?”

“Akan tetapi, bukan kita yang mencari kekeras­an. Kita hanya menanggapi saja, menghadapi la­wan yang merajalela bertindak sewenang-wenang dengan ilmu mereka. Kita hanya membela si lemah yang tertindas, menentang si kuat yang lalim,” kedua orang isterinya menjawab hampir berbareng.

Pendekar tua itu mengangguk-angguk. “Aku tidak akan membantah pendapat kalian, walaupun kebenaran pendapat itu hanya menjadi hasil pan­dangan sebelah saja. Sekarang kita hidup tenang dan tenteram, mengapa merindukan kekerasan?”

“Suamiku, jangan salah duga,” kata nenek Lulu. “Aku tidak merindukan kekerasan, hanya aku ingin mati sebagai seorang gagah. Biarpun sudah tua begini, ngeri aku membayangkan mati sebagai seo­rang nenek yang lemah dan berpenyakitan.”

Suaminya mengangguk-angguk. “Harapan sih boleh saja, akan tetapi yang menentukan adalah kenyataan. Memang kematian telah berada di de­pan mata, dan aku merasa lega bahwa kita bertiga akan berani menghadapinya dengan bebas rasa ta­kut.”

“Suamiku, sudahlah, tidak enak rasanya bicara tentang kematian selagi kita masih hidup. Apakah engkau ingin minum air buah seperti biasa?” tanya Nirahai. Setelah menghentikan samadhi mereka yang kadang-kadang sampai makan waktu tiga hari tiga malam, mereka bertiga suka memulai ma­kan dengan minum air buah. Suma Han meng­angguk dan Nirahai lalu menggunakan kedua tangannya untuk bertepuk dan tidak lama kemudian muncullah seorang pelayan wanita yang usianya kurang lebih empat puluh tahun. Nirahai lalu me­nyuruh pelayan itu menghidangkan air buah dan makanan-makanan lembut dan ringan untuk meng­isi perut mereka yang kosong. Setelah mereka ber­tiga mengisi perut yang kosong dengan sari buah dan makanan-makanan ringan, Suma Han berta­nya, “Di manakah cucu-cucu kita? Kenapa tidak ada suara mereka di dalam?”

“Mereka tentu berada di luar istana,” kata nenek Nirahai. “Aku mulai memikirkan apakah tidak sebaiknya kalau mereka itu sekali waktu disuruh melakukan perjalanan ke kota raja? Keadaan ne­gara sedang aman tenteram, baik sekali kalau me­reka itu meluaskan pemandangan dan pengetahuan pergi ke kota raja.”

“Menurut berita yang dibawa oleh para pelayan, memang kaisar muda Kian Liong amat bijaksana,” kata Suma Han. “Syukurlah kalau akhirnya negara memiliki seorang kaisar yang benar-benar bijak­sana dan dapat membuat rakyat hidup adil mak­mur, negara kuat dan keamanan hidup terjamin. Betapa sejak dahulu aku merindukan keadaan se­perti itu.”

“Semenjak masih muda sekali, ketika masih men­jadi pangeran, memang Pangeran Kian Liong su­dah nampak sebagai seorang yang bijaksana,” kata nenek Nirahai.

“Aku jadi ingin sekali melihat kota raja dalam keadaan makmur seperti sekarang,” kata nenek Lulu.

“Sebaiknya panggil mereka itu masuk, aku ingin bicara dengan mereka,” kata kakek itu.

“Biar aku yang mencari mereka!” Nenek Lulu bangkit dari lantai dan dengan langkah masih gesit nenek ini lalu meninggalkan ruangan samadhi dan keluar dari istana mencari tiga orang cucunya.

“Jangan lepaskan pandang matamu dari tubuh lawan, terutama sepasang pundaknya dan gerak kakinya. Gerakan sendiri tidak perlu kita ikuti dengan mata, melainkan dengan perasaan saja, ka­rena itulah maka gerakan perlu dilatih agar men­jadi otomatis sehingga seluruh pandang mata dan perhatian kita tak pernah terlepas daripada gerak­an lawan.” Demikian Suma Hui memberi nasihat kepada kedua orang adiknya. Kemudian dara yang cantik manis ini lalu mengeluarkan sepasang pedang dan mulai memainkan sepasang pedang ini dalam Ilmu Pedang Siang-mo Kiam-sut (Ilmu Pedang Sepasang Iblis). Namanya saja menyeramkan, akan tetapi sesungguhnya ilmu pedang ini amat hebat, dahsyat dan kalau dimainkan oleh seorang dara seperti Suma Hui nampak indah seolah-olah dara itu bukan sedang bersilat melainkan sedang menari-nari saja. Sepasang pedangnya lenyap bentuknya dan berobah menjadi dua gulung sinar yang saling belit dan saling sambung.

Ciang Bun dan Ceng Liong nonton dengan penuh kagum. Memang indah sekali tarian pedang yang dimainkan oleh Suma Hui itu. Bagi orang-orang tidak mengerti, atau yang ilmu silatnya masih rendah, tentu akan memandang ringan dan akan mengira bahwa itu hanya merupakan tarian pe­dang yang indah saja akan tetapi yang tidak ber­bahaya kalau dipakai dalam perkelahian yang sungguh-sungguh. Perkiraan seperti itu sungguh akan membuat orangnya kecelik bukan main. Ilmu Pedang Siang-mo Kiam-sut itu bukan hanya indah dipandang, akan tetapi juga amatlah dahsyatnya, dan merupakan ilmu pedang yang sukar dicari bandingnya di dunia persilatan pada waktu itu. Saking asyiknya Suma Hui bersilat pedang dan kedua orang adiknya nonton dengan hati kagum, mereka bertiga sampai tidak melihat adanya perubahan aneh yang terjadi di lautau di sekitar Pulau Es. Ternyata pada pagi hari itu, tidak seperti biasanya, nampak belasan buah layar bermunculan di sekitar pulau, bahkan sebuah perahu besar di an­tara sekian banyak perahu itu telah memasuki teluk dan mendarat!

“Bagus! Bagus dan indah sekali!”

“Cantik jelita seperti bidadari!”

Suara pujian-pujian dan tertawa gembira itu mengejutkan tiga orang cucu Pendekar Super Sakti. Tentu saja Suma Hui cepat menghentikan permain­an pedangnya dan menyimpan sepasang pedang itu di sarung pedang yang tergantung di punggungnya. Dua orang anak laki-laki itupun cepat menengok dan mereka bertiga kini berhadapan dengan tujuh orang laki-laki yang berloncatan turun dari perahu, sedangkan di atas perahu besar itu masih ter­dapat beberapa orang anak buah perahu. Tiga orang cucu Pendekar Super Sakti itu telah dua tahun berada di Pulau Es dan mereka belum pernah melihat ada perahu asing mengunjungi pulau, ma­ka mereka memandang dengan penuh keheranan dan mengira bahwa tentu mereka ini merupakan tamu-tamu kakek mereka. Akan tetapi, Suma Hui mengerutkan alisnya yang hitam karena dara yang sudah berusia delapan belas tahun ini, sebagai pu­teri suami isteri pandekar, dapat menduga bahwa dia berhadapan dengan orang-orang yang termasuk dalam kelompok kaum sesat. Hal ini mudah saja dikenalnya, dari cara mereka berpakaian, dari wajah yang penuh dengan watak keras itu, dan terutama sekali dari sikap mereka yang kelihatan sombong, mengagulkan diri, dan juga tidak sopan. Hatinya sudah dipenuhi rasa tidak suka melihat betapa tujuh orang yang dihadapinya itu meman­dang kepadanya dengan cengar-cengir dan menyeringai memuakkan. Suara pujian akan kecan­tikannya tadi mengandung kekurangajaran, walaupun tujuh orang itu bukan muda lagi, antara em­pat puluh sampai enam puluh tahun. Namun, dari gerakan mereka ketika berloncatan turun tadi, mudah diketahui bahwa mereka itu rata-rata pandai main silat.

Seorang di antara mereka yang usianya kurang lebih empat puluh tahun melangkah maju sambil tertawa. Laki-laki ini kurus tinggi dan berkulit hitam, mukanya kecil seperti muka tikus, kumisnya melintang dan kedua ujungnya melengkung ke bawah, di punggungnya nampak tergantung seba­tang golok, sikapnya congkak bukan main.

“Ha-ha, Nona manis. Siapakah engkau? Sung­guh tak kusangka, di tempat kosong seperti ini akan bertemu dengan seorang gadis yang begini cantik manis dan memiliki kepandaian menari amat indah lagi. Aih, nona, daripada hidup di tempat terasing seperti ini, mari kau ikut saja de­nganku dan menjadi muridku yang terkasih. Ha-ha-ha! Jangan khawatir, menjadi murid Sian-to (Dewa Golok) hidupmu tentu akan senang!” Ber­kata demikian, orang ini mengulur lengannya yang panjang dan jari-jari tangannya mencoba untuk mencolek ke arah dada Suma Hui.

“Jahanam....!” Suma Hui memaki dan hanya dengan sedikit melangkah ke belakang saja, co­lekan itu mengenai tempat kosong. Dara itu mem­banting-banting kaki kirinya beberapa kali dan sinar matanya seperti mengeluarkan sinar berapi ketika ia memandang kepada orang yang memakai julukau Dewa Golok itu. Kalau dara ini sudah membanting-banting kaki kiri, itu tandanya ber­bahaya sekali karena ia sudah marah bukan main. Akan tetapi, orang bermuka tikus itu memang tak tahu diri saking congkaknya. Memang, sebagai seorang jagoan, entah sudah berapa banyaknya orang yang dia robohkan karena tidak taat kepadanya dan hal ini membuat dia menjadi tekebur sekali dan tidak sudi menghargai orang lain, selalu me­mandang rendah dan merasa bahwa dialah jagoan paling hebat di dunia.

“Eh, eh, engkau memaki?” Bentaknya dan kini kedua tangannya sudah mencengkeram ke depan, dan kembali cengkeraman itu ditujukan ke arah dada Suma Hui.

“Setan!” Makian ini keluar dari mulut kecil Suma Ceng Liong dan tiba-tiba saja tubuhnya sudah menerjang ke depan. Biarpun usianya baru sepuluh tahun, akan tetapi dia adalah putera Pen­dekar Siluman Kecil Suma Kian Bu! Sejak kecil, bahkan sejak dapat berjalan kaki, dia sudah digem­bleng oleh ayah dan ibunya sehingga ilmu silat sudah mendarah daging padanya! Tubuhnya juga digembleng menjadi kuat. Apalagi selama dua tahun ini, sejak berusia delapan tahun, dia digem­bleng oleh neneknya, yaitu nenek Nirahai dan menerima petunjuk-petunjuk dari kakeknya. Ten­tu saja dia bukanlah anak laki-laki berusia sepu­luh tahun sembarangan saja! Terjangannya itu memakai perhitungan dan dilakukan dengan penge­rahan tenaga. Tubuh yang sudah dua tahun mena­han dinginnya Pulau Es itu telah dapat menghim­pun tenaga panas yang cukup kuat dan ketika dia menerjang, dia telah mempergunakan tendangan Soan-hong-twi (Tendangan Angin Taufan) yang dipelajarinya dari ayahnya. Tubuhnya meluncur ke depan dan kedua kakinya melakukan tendangan terbang. Si muka tikus terkejut sekali, mencoba untuk menangkis, akan tetapi tangkisannya dapat dipatahkan oleh kaki kiri Ceng Liong sedangkan kaki kanan tetap meluncur menghantam perut.

“Dukkk....!” Tubuh Dewa Golok itu terjengkang dan terbanting keras. Agaknya belakang kepalanya terbanting cukup keras karena ketika dia bangkit duduk, kepalanya bergoyang-goyang dan sepasang matanya menjadi agak juling. Akau tetapi dia sudah marah sekali dan sambil berteriak dia sudah mencabut golok dari punggungnya, lalu bangkit berdiri. Akan tetapi, Ceng Liong sudah menyeruduk lagi ke depan, sekali ini dia membuat serangan dengan jurus dari Sin-coa-kun, tangan kirinya yang membentuk kepala ular itu “mematuk” ke arah dada lawan yang baru hendak bangkit berdiri dengan kepala masih pening.

“Tukkk!” Dan tubuh itu kembali terjengkang, kini golok yang dipegangnya terlepas dan dia ro­boh pingsan karena pukulan itu merupakan totok­an yang disertai hawa pukulan panas.Dapat dibayangkan betapa kaget dan herannya enam orang lain yang tadi turun dari perahu. Mereka itu adalah orang-orang yang biasa memper­gunakan kekerasan dan merupakan orang-orang terkenal di dunia kang-ouw. Tentu saja mereka pernah melihat orang-orang pandai, akan tetapi baru sekarang mereka melihat betapa seorang teman mereka yang mereka tahu cukup tangguh itu roboh pingsan melawan seorang anak kecil, ha­nya dalam dua gebrakan saja!


ah.. terlalu panjang.... untuk lengkapnya silakan masuk ke link NUMBER1.COM

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Rekomendasi